Penampilan bersama Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, Presiden China Xi Jinping, dan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam parade militer di China menandai pertemuan pertama tiga pemimpin negara itu setelah 66 tahun sejak 1959, sekaligus memperlihatkan kekuatan aliansi anti-Barat mereka.
Ketiga negara yang memiliki senjata nuklir dan anti-Amerika tampil berdampingan sehingga dianalisis bahwa China dan Rusia mengakui Korea Utara sebagai negara pemilik senjata nuklir.
Menurut kalangan diplomatik pada Jumat (05/09), selain parade militer peringatan 80 tahun Hari Kemenangan di China pada Rabu (03/09), pertemuan puncak Korea Utara dan China pada Kamis (04/09) pun dipandang menghadirkan tantangan diplomatik yang tidak mudah bagi Korea Selatan ke depan.
Hasil pertemuan puncak Korea Utara dan China juga menimbulkan kekhawatiran. Pada 2018 hingga 2019, kedua negara mengadakan empat kali pertemuan di China dan satu kali di Korea Utara yang selalu membahas isu denuklirisasi. Namun dalam pertemuan tahun ini, isu tersebut tidak dibahas. Hal ini dinilai bisa memicu pemerintah China mengubah prinsipnya yang dulu pernah menolak Korea Utara sebagai negara nuklir.
Pertemuan Kim dan Xi dianggap memperlihatkan China yang menerima keberadaan nuklir Korea Utara. Melalui kejadian ini, analisis menyebut prospek perundingan denuklirisasi yang sebelumnya sudah suram kini semakin sulit.
Dengan dukungan Rusia dan China, rezim Pyongyang tidak memiliki alasan untuk berunding dengan AS. Kalaupun Korea Utara bersedia berdialog, pembahasan akan mengarah ke pengendalian senjata sebagai negara pemilik nuklir.
Kementerian Luar Negeri Seoul menilai pertemuan tingkat tinggi APEC di Gyeongju pada akhir Oktober hingga awal November sebagai panggung diplomatik penting, di mana para pemimpin Korea Selatan, AS, dan China diperkirakan akan hadir bersama dalam satu forum.
Dalam APEC mendatang, Korea Selatan dan China berpotensi membuka dialog. Momentum ini dipandang sebagai peluang untuk menyerukan agar Presiden Xi berperan lebih aktif bagi perdamaian di Semenanjung Korea. Sebelumnya, Xi menegaskan bahwa China selalu mempertahankan posisi objektif dan adil dalam isu Semenanjung Korea, serta berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.
Pernyataan Xi tersebut juga dapat dipahami sebagai isyarat bahwa Beijing tetap menyadari perannya dalam upaya perdamaian di Semenanjung Korea, meski tidak lagi menyinggung isu denuklirisasi Korea Utara.